Alfathiha

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيم ||| الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين ||| الرَّحمـنِ الرَّحِيم ||| مَـالِكِ يَوْمِ الدِّين ||| إِيَّاك نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِين ||| اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ||| صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّين

Jumat, 03 Agustus 2012

Ramadhan (Rasululla​h Shallallah​u Alaihi Wa Sallam Di Bulan Ramadhan)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Bulan Ramadhan
Tamu agung nan penuh barakah akan kembali mendatangi kita. Kedatangannya yang terhitung jarang, hanya sekali dalam setahun menumbuhkan kerinduan mendalam di hati kaum Muslimin. Leher memanjang dan mata nanar memandang sementara hati berdegup kencang menunggu kapan gerangan hilalnya terbit.

Itulah Ramadhân, bulan yang sangat dikenal dan benar-benar ditunggu kehadirannya oleh kaum Muslimin.

Kemuliaanya diabadikan dalam al-Qur'ân dan melalui untaian-untaian sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sarat dengan kebaikan, mulai dari awal Ramadhan sampai akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)".[al-Baqarah/2:185]

Jiwa yang terpenuhi dengan keimanan tentu akan segera mempersiapkan diri untuk meraih keutamaan serta keberkahan yang yang ada didalamnya.

Pada bulan ini Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'ân. Seandainya bulan Ramadhan tidak memiliki keutamaan lain selain turunnya al-Qur'ân maka itu sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana bila ditambah lagi dengan berbagai keutamaan lainnya, seperti pengampunan dosa, peninggian derajat kaum Mukminin, pahala semua kebaikan dilipatgandakan, dan pada setiap malam Ramadhan, Allah Azza wa Jalla membebaskan banyak jiwa dari api neraka.

Pada bulan mulia ini, pintu-pintu Surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, setan-setan juga dibelenggu. Pada bulan ini juga ada dua malaikat yang turun dan berseru, "Wahai para pencari kebaikan, sambutlah ! Wahai para pencari kejelekan, berhentilah !"

Pada bulan Ramadhân terdapat satu malam yang lebih utama dari seribu bulan. Orang yang tidak mendapatkannya berarti dia terhalang dari kebaikan yang sangat banyak.

Mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia dalam melakukan ketaatan adalah hal yang sangat urgen, terlebih pada bulan Ramadhan. Karena amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika dia ikhlash dan mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, keduanya merupakan rukun diterimanya amal shalih. Keduanya ibarat dua sayap yang saling melengkapi. Seekor burung tidak bisa terbang dengan menggunakan satu sayap.

Melalui naskah ringkas ini, marilah kita berusaha untuk mempelajari prilaku Rasûlullâh di bulan Ramadhân agar kita bisa meneladaninya. Karena orang yang tidak berada diatas petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam di dunia dia tidak akan bisa bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di akhirat. Kebahagiaan tertinggi akan bisa diraih oleh seseorang ketika ia mengikuti petunjuk Rasûlullâh secara lahir dan batin. Dan seseorang tidak akan bisa mengikuti Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu itu tidak akan disebut bermanfaat kecuali bila diiringi dengan amalan yang shalih. Jadi amalan shalih merupakan buah ilmu yang bermanfaat.

Dibawah ini adalah beberapa kebiasaan dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhân :

a). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memulai puasa kecuali jika beliau sudah benar-benar melihat hilal atau berdasarkan berita dari orang yang bisa dipercaya tentang munculnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan Sya'bân menjadi tiga puluh.

b). Berita tentang terbitnya hilal tetap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terima sekalipun dari satu orang dengan catatan orang tersebut bisa dipercaya. Ini menunjukan bahwa khabar ahad bisa diterima.

c). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya mengawali Ramadhân dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali puasa yang sudah terbiasa dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, beliau n melarang umatnya berpuasa pada hari Syak (yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah tanggal satu Ramadhan ataukah masih tanggal 30 Sya'bân-red)

d). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam berniat untuk melakukan puasa saat malam sebelum terbit fajar dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk melakukan hal yang sama. Hukum ini hanya berlaku untuk puasa-puasa wajib, tidak untuk puasa sunat.

e). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memulai puasa sampai benar-benar terlihat fajar shadiq dengan jelas. Ini dalam rangka merealisasikan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

"Dan makan serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa fajar itu ada dua macam fajar shâdiq dan kâdzib. Fajar kadzib tidak menghalangi seseorang untuk makan, minum, atau menggauli istri. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah ekstrem kepada umatnya, baik pada bulan Ramadhân ataupun bulan lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyari'atkan adzan (pemberitahuan) tentang imsak.

f). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

"Umatku senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka"

g). Jarak antara sahur Rasûlullâh dan iqâmah seukuran bacaan lima puluh ayat

h). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Bagaimana tidak, akhlak beliau adalah al-Qur'ân, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan umatnya untuk berakhlak mulia, orang-orang yang sedang menunaikan ibadah berpuasa. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka tidak membutuhkan puasanya sama sekali".

i). Rasûlullâh sangat memperhatikan muamalah yang baik dengan keluarganya. Pada bulan Ramadhân, kebaikan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada keluarga semakin meningkat lagi.

j). Puasa tidak menghalangi beliau untuk sekedar memberikan kecupan manis kepada para istrinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.

k). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan siwak, baik di bulan Ramadhân maupun diluar Ramadhân guna membersihkan mulutnya dan upaya meraih keridhaan Allâh Azza wa Jalla.

l). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbekam padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang menunaikan ibadah puasa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan umatnya untuk berbekam sekalipun sedang berpuasa. Pendapat yang kontra dengan ini berarti mansukh (telah dihapus).

m). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berjihad pada bulan Ramadhân dan menyuruh para shahabatnya untuk membatalkan puasa mereka supaya kuat saat berhadapan dengan musuh.

Diantara bukti Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam sayang kepada umatnya yaitu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sakit dan oranng yang lanjut usia serta wanita hamil dan menyusui untuk membatalkan puasanya.

n). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan bulan-bulan lain, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân untuk mencari lailatul qadr.

o). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân kecuali pada tahun menjelang wafat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf selama dua puluh hari. Ketika beri'tikaf, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu dalam keadaan berpuasa

p). Ramadhân adalah syahrul Qur'ân (bulan al-Qur'ân), sehingga tadarus al-Qur'ân menjadi rutinitas beliau, bahkan tidak ada seorangpun yang sanggup menandingi kesungguh-sungguhan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tadarus al-Qur'ân. Malaikat Jibril Alaihissallam senantiasa datang menemui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tadarus al-Qur'ân dengan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

q). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang dermawan. Kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhân tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ibarat angin yang bertiup membawa kebaikan, tidak takut kekurangan sama sekali.

r). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang mujahid sejati. Ibadah puasa yang sedang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jalankan tidak menyurutkan semangat beliau untuk andil dalam berbagai peperangan. Dalam rentang waktu sembilan tahun, beliau mengikuti enam pertempuran, semuanya terjadi pada bulan Ramadhân. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukan berbagai kegiatan fisik pada bulan Ramadhân, seperti penghancuran masjid dhirâr [1], penghancuran berhala-berhala milik orang Arab, penyambutan duta-duta, penaklukan kota Makkah, bahkan pernikahan beliau dengan Hafshah

Intinya, pada masa hidup Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, bulan Ramadhân merupakan bulan yang penuh dengan keseriusan, perjuangan dan pengorbanan. Ini sangat berbeda dengan realita sebagian kaum Muslimin saat ini yang memandang bulan Ramadhân sebagai saat bersantai, malas-malasan atau bahkan bulan menganggur atau istirahat.

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk selalu mengikuti jejak Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, hidup kita diatas sunnah dan semoga Allah Azza wa Jalla mewafatkan kita juga dalam keadaan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Masjid yang dibangun oleh kaum munafik untuk memecah belah kaum Muslimin

Read More...

Kamis, 02 Agustus 2012

Ramadhan (Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Berpuasa)

Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang Yang Berpuasa
a. Mandi untuk mendinginkan badan
Diriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di al-‘Arj (nama sebuah desa yang berjarak beberapa hari perjalanan dari Madinah) sedang menyirami kepalanya dengan air, sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa, karena haus atau panas yang menyengat.”[1]

b. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak berlebih-lebihan
Dari Laqith bin Shabrah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.

“Dan lakukanlah istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dengan sangat kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.” [2]

c. Hijamah (berbekam)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Bahwa Nabi pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa.” [3]

Akan tetapi berbekam dimakruhkan jika ia khawatir menyebabkan badan menjadi lemah. Diriwayatkan dari Tsabit al-Banani, dia berkata, Anas bin Malik pernah ditanya, “Apakah kalian membenci berbekam bagi orang yang berpuasa?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali jika menyebabkan badan menjadi lemah.”[4]

d. Bercumbu dan berciuman bagi mereka yang mampu menahan dirinya
Telah diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa ia pernah bercerita, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu yang saat itu beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang paling kuat menahan hawa nafsunya di antara kalian.” [5]

e. Bangun setelah waktu Shubuh tiba dalam keadaan junub
Berdasarkan apa yang diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit sedang beliau dalam keadaan junub karena bercampur dengan isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.[6]

f. Bersiwak, memakai wangi-wangian, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntikan.
Dasar dibolehkannya semua ini adalah hukum asalnya yang terlepas dari larangan (al-Bara'ah al-Ashliyah), jika hal tersebut diharamkan bagi orang yang berpuasa niscaya Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

“Dan tidaklah Rabb-mu lupa” [Maryam: 64]


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2072)], Sunan Abi Dawud (VI/492, no. 2348).
[2]. Telah berlalu takhrijnya pada kitab Thaharah.
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2079)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/174, no. 1939), Sunan Abi Dawud (VI/498, no. 2355), Sunan at-Tirmidzi (II/137, no. 772), dengan tambahan: “… Dan ia dalam keadaan ihram.”
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 947)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/174, no. 1940). Dan termasuk dalam hukum hijamah ini, donor darah, jika orang yang mendonorkan darahnya khawatir akan dirinya, maka dia tidak boleh melakukannya di siang hari kecuali jika terpaksa.
[5]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/149, no. 1927), Shahiih Muslim (II/777, no. 1106 (25)), Sunan Abi Dawud (VII/9, no. 2365), Sunan at-Tirmidzi (II/116, no. 725).
[6]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/143, no. 1926), Shahiih Muslim (IV/779, no. 1109), Sunan Abu Dawud (VII/14, no. 2371), Sunan at-Tirmidzi (II/139, no. 776).

Read More...

Selasa, 31 Juli 2012

Ramadhan (Adab-Adab Puasa)

Adab-Adab Puasa
Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan beberapa adab berikut ini:

a. Makan Sahur
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

"Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah."[1]

Dan telah terhitung makan sahur walaupun hanya dengan seteguk air, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةِ مَاءٍ.

“Makan sahurlah kalian meski hanya dengan seteguk air.” [2]

Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur, sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, setelah itu beliau langsung berangkat shalat. Aku bertanya, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, 'Kira-kira sama seperti bacaan 50 ayat.’” [3]

Jika adzan telah terdengar dan makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan atau meminumnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.

“Barangsiapa di antara kalian yang mendengar adzan (Shubuh) dan bejana (makanan) masih di tangannya, maka janganlah ia menaruhnya sebelum ia menyelesaikan makannya." [4]

b. Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan kata-kata kotor, atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan puasa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ.

“Jika pada hari salah seorang diantara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” [5]

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلِيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” [6]

c. Sifat dermawan dan memperbanyak bacaan al-Qur-an
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan beliau akan lebih dermawan (dari hari-hari biasanya) pada bulan Ramadhan, ketika Jibril datang menemuinya dan adalah Jibril selalu datang menemuinya setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan, hingga Ramadhan selesai, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan al-Qur-an kepada Jibril. Dan di saat ia bertemu Jibril beliau lebih pemurah (lembut) dari angin yang berhembus dengan lembut.” [7]

d. Menyegerakan berbuka (ta’-jil)
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النّاَسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.

“Umat manusia akan tetap baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”[8]

e. Berbuka puasa dengan apa yang mudah didapatkan baginya dari hal-hal tersebut dalam hadits berikut
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi biasa berbuka dengan ruthab (kurma segar) sebelum mengerjakan shalat. Jika beliau tidak mendapatkan ruthab, maka beliau berbuka dengan beberapa buah tamr (kurma masak yang sudah lama dipetik) dan jika tidak mendapatkan tamr, maka beliau meminum air.”[9]

f. Berdo'a ketika berbuka puasa dengan do'a yang terdapat dalam hadits berikut ini
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berbuka puasa selalu membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.

“Telah hilang rasa haus dan telah basah urat-urat, serta telah ditetapkan pahala, insya Allah.” [10]


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/139, no. 1923), Shahiih Muslim (II/770, no. 1095), Sunan at-Tirmidzi (II/106, no. 703), Sunan an-Nasa-i (IV/141), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1692).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2945)], Shahiih Ibni Hibban (no. 223, 884).
[3]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/138, no. 1921), Shahiih Muslim (II/771, no. 1097), Sunan at-Tirmidzi (II/104, no. 699), Sunan an-Nasa-i (IV/143), Sunan Ibni Majah (I/540, no. 1694).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 607)], Sunan Abi Dawud (VI/475, no. 2333), Mustadrak al-Hakim (I/426).
[5]. Penggalan dari hadits: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri...” dan telah berlalu takhrijnya.
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 921)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/116, no. 1903), Sunan Abi Dawud (VI/488, no. 2345), Sunan at-Tirmidzi (II/105, no. 702).
[7]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari I/30, no. 6), Shahiih Muslim (IV/1803, no. 2308).
[8]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/198, no. 1957), Shahiih Muslim (II/771, no. 1098), Sunan at-Tirmidzi (II/103, no. 695).
[9]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 2065)], Sunan Abi Dawud (VI/ 481, no. 2339), Sunan at-Tirmidzi (II/102, no. 692).
[10]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2066)], Sunan Abi Dawud (VI/482, no. 2340).

Read More...

Kamis, 26 Juli 2012

Ramadhan (Rukun-Ruk​un Puasa, Enam Hal Yang Membatalka​n Puasa)


Rukun-Rukun Puasa
a. Niat
Berdasarkan firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah: 5]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

“Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat ganjaran atas amalnya sesuai dengan niatnya.” [1]

Dan niat tersebut harus dilakukan sebelum terbit fajar di setiap malam Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits Hafshah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” [2]

b. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari
Allah Ta’ala berfirman:

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“... Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu dan makan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam...” [Al-Baqarah: 187]

Ada Enam Hal yang Membatalkan Puasa
a, b. Makan dan minum dengan sengaja
Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa, maka dia tidak wajib mengqadha' dan membayar kafarat, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ.

“Barangsiapa yang lupa bahwasanya dia sedang berpuasa, lalu dia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberi makan dan minum kepadanya.” [3]

c. Muntah dengan sengaja
Sedangkan kalau tidak sengaja, maka tidak wajib atasnya mengqadha' puasa dan membayar kafarat. Diriwayatkan dari Abu Hu-rairah z, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ القَيءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِِ.

“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka dia tidak wajib mengqadha' puasa, sedangkan barangsiapa yang sengaja muntah, maka wajib baginya mengqadha'.” [4]

d, e. Haidh dan Nifas
Walaupun hal ini terjadi pada detik terakhir dari siang (menjelang buka puasa), berdasarkan kesepakatan (ijma') para ulama.

f. Bersetubuh
Dan dengannya diwajibkan kafarat yang tersebut dalam hadits berikut:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, dia berkata, “Di saat kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki seraya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam binasalah aku.' Beliau bertanya, 'Apa yang telah membinasakan dirimu?' Dia menjawab, 'Aku telah berhubungan badan dengan isteriku sedangkan aku dalam keadaan berpuasa Ramadhan.’ Beliau bertanya, 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' 'Tidak,' jawabnya. Lalu beliau bertanya lagi: 'Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?' Dia menjawab, 'Tidak.' Beliau bertanya lagi, 'Dan apakah engkau mampu memberi makan kepada 60 orang miskin?' Dia pun menjawab, 'Tidak.' Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diam, dan di saat kami sedang dalam keadaan seperti itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi sekeranjang ‘araq * kurma, lalu beliau berkata, 'Mana orang yang bertanya tadi?' Orang itu pun menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!' Laki-laki itu berkata, 'Adakah orang yang lebih miskin dari pada kami wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada satu keluarga di antara dua tempat yang banyak batu hitamnya di Madinah yang lebih faqir dari pada kami.' Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau berkata, 'Berilah makan keluargamu dari sedekah itu.’"[5]


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada kitab Thaharah.
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6538)], Sunan Abi Dawud (VII/122, no. 2437), Sunan at-Tirmidzi (II/116, no. 726), Sunan an-Nasa-i (IV/196) se-misal dengannya.
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6573)], Shahiih Muslim (II/809, no. 1155) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/155, no. 1923), Sunan Ibni Majah (I/535, no. 1673), Sunan at-Tirmidzi (II/112, no. 717).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6243)], Sunan at-Tirmidzi (II/111, no. 716), Sunan Abi Dawud (VII/6, no. 2363), Sunan Ibni Majah (I/536, no. 1676).
* ‘Araq menurut fuqaha adalah keranjang yang memuat 15 sha’, yaitu 60 mud. Untuk 60 orang miskin, dan untuk setiap orang miskin mendapatkan satu mud. (Shahiih Muslim Syarh Imam an-Nawawi (VII/226).-pent.)
[5]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/163, no. 1936), Shahiih Muslim (II/781, no. 1111), Sunan Abi Dawud (VII/20, no. 2373), Sunan at-Tirmidzi (II/113, no. 720), Sunan Ibni Majah (I/534, no. 1671).

Read More...

Rabu, 25 Juli 2012

Ramadhan (Kepada Siapa Puasa Diwajibkan​?)

Kepada Siapa Puasa Diwajibkan?
Para ulama telah sepakat bahwa puasa wajib atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, dan bermukim (tidak musafir), dan bagi seorang wanita hendaklah ia suci dari haidh dan nifas.[1]

Adapun tentang tidak wajib berpuasa bagi mereka yang tidak berakal dan belum baligh, maka berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.”[2]

Sedangkan tentang tidak wajibnya berpuasa atas orang yang sakit dan musafir, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“... Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain...” [Al-Baqa-rah: 185]

Jikalau orang yang sakit dan musafir tersebut tetap berpuasa, maka hal tersebut telah mencukupinya, karena dibolehkannya mereka berbuka merupakan suatu bentuk keringanan (rukhsah), dan jika mereka tetap melaksanakan yang wajib, maka itu adalah baik.

Mana Yang Lebih Utama Bagi Mereka, Berbuka Atau Puasa?
Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan kesulitan dalam berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka menemukan kesulitan dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di saat bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Mereka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. Mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa untuknya lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka adalah lebih baik.”[3]

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang sedang haidh dan nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا.

“Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [4]

Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka puasanya itu tidak mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu syarat puasa adalah suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk mengqadha' puasa tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dahulu di saat kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat.” [5]

Apa Yang Wajib Dilakukan Oleh Lelaki Tua Jompo Dan Wanita Tua Yang Lemah, Juga Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh?
Barangsiapa yang tidak mampu berpuasa dikarenakan lanjut usia atau yang semisalnya, maka boleh baginya berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin....” [Al-Baqarah: 184]

Diriwayatkan dari ‘Atha', bahwasanya dia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat ini tidak mansukh (dihapus hukumnya), yang dimaksud adalah lelaki dan wanita yang sudah lanjut usia, dimana mereka tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ditinggalannya.” [6]

Wanita Hamil Dan Menyusui
Wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah tetapi mereka tidak wajib mengqadha’. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyalahu anhuma, bahwasanya dia berkata, “Diberikan keringanan kepada orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah dalam hal tersebut, sedang keduanya sanggup berpuasa untuk tidak berpuasa jika mereka mau dan memberi makan orang miskin setiap hari serta tidak ada kewajiban qadha' atas keduanya. Kemudian hukum ini dinasakh dengan ayat ini:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu yang hadir di bulan itu (Rama-dhan), maka hendaklah dia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]

Dan telah ditetapkan bagi orang yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu berpuasa. Juga bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir, maka mereka boleh tidak berpuasa dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari.”[7]

Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Jika wanita yang sedang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga wanita yang menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha' puasa.”[8]

Dari Nafi’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Salah seorang puteri dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menjadi isteri salah seorang laki-laki Quraisy, dan di saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan, maka Ibnu ‘Umar memerintahkannya untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkan).” [9]

Ukuran Makanan Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia pernah tidak mampu berpuasa selama setahun (30 hari di bulan Ramadhan-pent.), maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil 30 orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang.[10]


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (I/506) cet. ar-Rayyan
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 574)], Shahiih Muslim (II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 951], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/191, no. 1951).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 630)], Shahiih Muslim (I/265, no. 335), Sunan Abi Dawud (I/444, no. 209, 260), Sunan at-Tirmidzi (II/141, no. 784), Sunan an-Nasa-i (IV/191).
[6]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 912)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (VIII/179, no. 4505).
[7]. Sanadnya kuat: HR. Al-Baihaqi (IV/230).
[8]. Shahih: Syaikh al-Albani menyandarkannya dalam Irwaa-ul Ghaliil (IV/19) kepada ath-Thabari (no. 2758) dan ia berkata sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim.
[9]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/20], ad-Daraquthni (II/207, no. 15).
[10]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil IV/21], ad-Daraquthni (II/207, no. 16).

Read More...

Ramadhan (Puasa, Hukum dan Keutamaany​a)

Puasa, Hukum dan Keutamannya

1. Hukumnya
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam dan juga merupakan salah satu kewajibannya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Al-lah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhan.”[1]

Dan umat telah sepakat tentang kewajiban puasa bulan Ramadhan, dan ia merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Barangsiapa yang mengingkari akan kewajibannya, maka ia telah kafir atau keluar dari Islam.[2]

2. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” [3]

Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfiman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ, فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ, فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَليَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ, مَرَّتَيْنِ, وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ, وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

"Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa, di mana puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahala atasnya. Puasa itu adalah perisai, jika pada hari yang salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.' -dua kali- Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari Kiamat nanti dari pada bau minyak kasturi. Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan, jika berbuka, dia bergembira dengan berbukanya dan jika berjumpa dengan Rabbnya dia juga bergembira dengan puasanya.’” [4]

Juga dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَيَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ: أَيْنَ الصّاَئِمُوْنَ ؟ فَيَقُوْمُوْنَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ, فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ.

“Sesungguhnya di Surga itu terdapat satu pintu yang diberi nama ar-Rayyan. Dari pintu itu orang-orang yang berpuasa akan masuk pada hari Kiamat kelak, tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa?’ Kemudian mereka berdiri (untuk memasukinya), tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu itu selain mereka, manakala mereka telah masuk, pintu itu ditutup dan tidak ada yang masuk selain mereka.” [5]

3. Wajib Berpuasa Ramadhan Dikarenakan Melihat Hilal (Bulan)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, فَإِنْ غُمِيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ.

“Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah bulan (Sya’ban) menjadi 30 hari.” [6]

4. Dengan Apa Bulan Ditetapkan?
Bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal (bulan), walaupun yang melihatnya hanya satu orang yang terpercaya atau dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Orang-orang sedang berusaha melihat hilal, lalu aku memberitahu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya aku telah melihatnya, kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.”[7] . Jika bulan tidak bisa dilihat disebabkan oleh mendung atau yang lainnya, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah lalu.

Adapun bulan Syawwal, maka ia tidaklah ditetapkan kecuali dengan persaksian dua orang. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin al-Kahthtab, bahwasanya dia berkhutbah pada hari yang diragukan untuk berpuasa padanya, dan berkata, “Ketahuilah bahwasanya aku telah bersama para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan aku telah bertanya kepada mereka, lalu mereka mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ, وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّى عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا, فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوا وَأَفْطِرُوْا.

"Berpuasalah kalian karena telah melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian karena telah melihatnya pula, serta beribadahlah karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkanlah menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang muslim yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian.’” [8]

Diriwayatkan dari Gubernur Makkah al-Harits bin Hatibz, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepada kami agar kami beribadah berdasarkan melihat bulan. Jika kami tidak bisa melihatnya dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka berdua.” [9]

Dalam sabdanya yang berbunyi "Dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian (melihat bulan), maka berpuasa dan berbukalah kalian" dari hadits ‘Abdurrahman bin Zaid. Dan sabdanya, "Jika kami tidak bisa melihatnya (bulan) dan telah bersaksi dua orang yang terpercaya (bahwa mereka telah melihatnya), maka kami beribadah berdasarkan persaksian mereka tersebut." Dalam hadits al-Harits, keduanya memberi pengertian bahwa tidak boleh menetapkan saat berpuasa dan berbuka (masuk bulan Syawwal) dengan persaksian satu orang saja, kecuali penetapan waktu puasa karena telah ada dalil yang membolehkan hal tersebut (persaksian satu orang), sedangkan waktu berbuka tidak ada dalil yang menunukkan hal tersebut, maka ia tetap dalam hukum asalnya (yaitu harus dengan persaksian dua orang yang terpercaya).
Sampai di sini penukilan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi (III/373-374), dengan sedikit perubahan.

Perhatian:
Barangsiapa yang melihat hilal seorang diri, maka janganlah ia berpuasa hingga manusia yang lainnya berpuasa. Begitu pula jangan dia berbuka hingga mereka berbuka, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaiahi wa sallam telah bersabda:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.

“Waktu puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa, waktu berbuka (‘Iedul Fithri) adalah di hari kalian semua berbuka, dan hari ‘Idul Adha ialah hari di mana kalian berkurban.” [10]


وَأَخِيْراً
إِذَا أَعْجَبَكَ الْمَوْضُوْعُ فَلاَ تَقُلْ شُكْـراً
رَحِمَ اللهُ مَنْ نَقَلَهَا عَنِّيْ وَجَعَلَهَا بِمِيْزَانِ حَسَنَاتِكُمْ
وَقَالَ : اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَلِوَالِدَيْهِ وَلأَهْلِ بَيْتِهِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِمْ وَمَا تَأَخَّرَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Terakhir ..
Jika cocok dengan threat ini, jangan katakan: “terima kasih”. Namun, katakanlah: “semoga Allah memberikan Rahmat kepada yang mempublikasikannya, dan menjadikannya sebagai penambah berat kebaikannya”.
Dan katakan pula: “ya Allah, ampuni penulis tema ini dan yang mempublikasikannya, juga kedua orang tuanya dan seluruh keluarganya, ampuni apa yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya, lindungi dia dari adzab kubur dan adzab neraka”.

ماَ كُنْتَ تَدْرِي ماَ الْكِتاَبُ وَلاَ اْلإِيْماَنُ
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada kitab ath-Thaharah.
[2]. Fiqhus Sunnah (I/366).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/115, no. 1901), Sunan an-Nasa-i (IV/157), Sunan Ibni Majah (I/526, no. 1641), Shahiih Muslim (I/523, no. 760).
[4]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/118, no. 1904), Shahiih Muslim (II/807, no. 1151 (164), Sunan an-Nasa-i (IV/163). Al-Junnah, dengan mendhammahkan huruf jiim, artinya pencegah dan penghalang. Ar-Rafatsu, dengan membaris ataskan huruf ra', fa' dan tsa', yaitu ucapan yang kotor. La yajhal, yaitu dia tidak melakukan perbuatan orang-orang yang bodoh seperti berteriak, kurang ajar atau yang lainnya. Al-khuluf, yaitu perubahan bau mu-lut orang yang berpuasa karena puasanya (Fat-hul Baari, IV/125, 26, 127, cet. Darul Ma’rifah).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/111, no. 1896) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/808, no. 1152), Sunan at-Tirmidzi (II/132, no. 762), Sunan Ibni Majah (I/525, no. 1640), Sunan an-Nasa-i (IV/168) dengan lafazh yang sama dan ada sedikit tambahan.
[6]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih Muslim (II/762, no. 1081 (19) dan ini adalah lafazh-nya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/119, no. 1909), Sunan an-Nasa-i (IV/133).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 908)], Fiqhus Sunnah (I/367), dan hadits ini di-riwayatkan oleh Abu Dawud (VI/468, no. 2325).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3811)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani IX/264 dan 265/50), Sunan an-Nasa-i (IV/132 dan 133) tanpa kalimat: مُسْلِمَانِ.
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 205), Sunan Abu Dawud (VI/463, no. 2321).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3869)], Sunan at-Tirmidzi (II/101, no. 693) dan dia berkata, "Menurut sebagian ahli ilmu, maksud hadits ini adalah kita berpuasa dan berbuka bersama-sama dengan jama’ah dan orang banyak."

Read More...